Beranda | Artikel
Perpecahan Sebagai Sunnah Kauniyah
Minggu, 12 Januari 2020

PERPECAHAN SEBAGAI SUNNAH KAUNIYAH

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Tidak syak lagi, bahwa perpecahan merupakan fitnah besar yang melanda umat Islam. Fitnah yang gelombangnya laksana gelombang lautan ini muncul sesudah terbunuhnya Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.

Dalam hadits yang dikeluarkan oleh banyak imam, di antaranya Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih masing-masing, berasal dari seorang tabi’i bernama Syaqiq, dari seorang sahabat besar, Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ : أَيُّكُمْ يَحْفَظُ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْفِتْنَةِ كَمَا قَالَ ؟ قَاَل : قُلْتُ : أَنَا. قَالَ : إنَّكَ لَجَرِيءٌ ، وَكَيْفَ قَالَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : سَمِعْتُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : ” فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ َونَفْسِهِ وِوَلَدِهِ وَجَارِهِ، يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ” . فقَالَ عُمَرُ : لَيْسَ هَذَا أُرِيْدُ ، إِنَّمَا أُرِيْدُ الَّتِي تَمُوْجُ كَمَوْجِ اْلبَحْرِ، قَالَ : فَقُلْتُ : مَا لَكَ وَلَهَا يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ ؟! إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا. قَالَ : فَيُكْسَرُ الْبَابُ أَمْ يُفْتَحُ ؟ قَالَ : قُلْتُ : لاَ ، بَلْ يُكْسَرُ. قَالَ : ذَاكَ أَحْرَى أَنْ لاَ يُغْلَقَ أَبَدًا  قَالَ: قُلْنَا لِحُذَيْفَةَ : هَلْ كَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ مَنِ الْبَابُ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، كَمَا أَنَّ دُوْنَ غَدٍ اَلََّلْيَلةَ، إِنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيْثًا لَيْسَ بِالأَغَالِيْطِ .قَالَ : فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَ حُذَيْفَةَ : مَنِ اْلبَابُ ؟! فَقُلْنَا لِمَسْرُوْقٍ : سَلْهُ ، فَسَأَلَهَ. فقَالَ : عُمَرُ.

Kami berada di hadapan (Khalifah) Umar (bin Khattab). Ia bertanya,”Siapakah di antara kalian yang hafal hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam tentang fitnah, persis seperti yang beliau sabdakan?” Hudzaifah berkata, “Saya menjawab,’Saya’.” Umar berkata,”Sesungguhnya engkau benar-benar berani, bagaimana beliau bersabda?” Hudzaifah berkata,”Saya menjawab,’Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam bersabda: Fitnah seorang laki-laki di tengah keluarganya, hartanya, dirinya, anaknya dan tetangganya, dapat dihapuskan dengan puasa, shalat, shadaqah dan amar ma’ruf nahi mungkar’.”

Umar berkata, ”Bukan itu yang aku kehendaki. Tetapi yang aku kehendaki ialah fitnah yang bergelombang laksana gelombang lautan.” Hudzaifah berkata,” Maka saya katakan,’Mengapakah engkau bertanya tentang itu, wahai Amirul Mu’minin?! Sesungguhnya di antara dirimu dengan fitnah itu terdapat pintu yang tertutup’.”

Umar bertanya,”Apakah pintu itu akan pecah ataukah (hanya) akan terbuka?” Hudzaifah menjawab,“Tidak, bahkan pintu itu akan pecah.” Umar berkata,”Itu berarti lebih layak untuk tidak akan tertutup selama-lamanya.”

Syaqiq berkata,”Kami bertanya kepada Hudzaifah, apakah Umar mengetahui siapakah pintu itu? Hudzaifah menjawab,“Ya, seperti halnya ia mengetahui, bahwa sebelum esok adalah malam nanti. Sesungguhnya aku telah menceritakan kepada Umar hadits yang tidak keliru (betul-betul datangnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam).”

Syaqiq berkata lagi,“Selanjutnya kami segan untuk bertanya kepada Hudzaifah, siapakah pintu itu? Maka kami berkata kepada Masruq: Tanyakanlah kepada Hudzaifah (tentang siapakah pintu itu)?” Masruq pun bertanya. Maka Hudzaifah menjawab,“(Ia adalah) Umar.”[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan fitnah itu seolah-olah terkurung dan tersekap di dalam suatu ruangan. Ruangan ini mempunyai pintu. Sedangkan pintunya jika sampai patah, maka selama-lamanya tidak akan bisa tertutup kembali. Sehingga fitnah akan terlepas dan tidak kembali lagi ke dalam kamar.

Pintu yang dimaksud adalah Umar. Bila beliau wafat, berarti pintu itu terbuka, tetapi mungkin akan bisa tertutup kembali. Tetapi jika beliau terbunuh (dalam bahasa hadits “patah”), maka pintu itu tidak tertutup lagi hingga hari kiamat. Ternyata Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu di atas.

Fitnah betul-betul melanda kaum Muslimin sepeninggal Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Dan semakin ganas sejalan dengan perjalanan waktu yang kian panjang, laksana gelombang air laut yang dahsyat.

Fitnah itu terwujud secara nyata dalam bentuk perpecahan umat. Di mana-mana terjadi perselisihan hebat. Dan ini merupakan sunnah kauniyah (ketetapan taqdir dari Allah) yang tidak dapat terelakkan, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraqul ummah.

Bagaimana jalan keluar dari kenyataan perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah ini?

Allah tidak menurunkan suatu penyakit (yang merupakan sunnah kauniyah), kecuali pasti menurunkan obatnya yang merupakan sunnah syar’iyah.

Untuk menjawab pertanyaan di atas Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, seorang Ulama dari Yordania yang pernah ke Surabaya dalam suatu acara Daurah Syar’iyyah, menyebutkan ada dua buah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan penyakit serta obatnya.

Pertama : Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi][2]

Dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang penyakit dan obatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang penyakit perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah. Kemudian menyebutkan bagaimana cara pengobatannya (yang merupakan sunnah syar’iyah).

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak”. Perselisihan yang banyak ini merupakan penyakit. Dan kini hal itu betul-betul terbukti.

Bagaimanakah obatnya? Obatnya, ialah kelanjutan hadits tersebut, yaitu “Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk– sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”.

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”, beliau menggunakan dhamir “haa” pada “’alaihaa” (menunjukkan satu), bukan “humaa atau ’alaihimaa” (menunjukkan dua). Sebab Sunnah para Khulafa’ur Rasyidun sebenarnya adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. Jadi hanya satu sunnah saja.

Dengan kata lain, perpecahan merupakan sunnah kauniyah disebabkan oleh tidak berpegang kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Begitu juga segala kemaksiatan lain, terjadi sesuai dengan kehendak kauniyah (ketetapan taqdir) Allah. Bukan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at) Allah.

Perpecahan serta fitnah pasti terjadi sebagai sunnah kauniyah. Sedangkan obatnya adalah mengikuti sunnah syar’iyyah. Yaitu berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun.

Kedua : Hadits tentang perpecahan umat. Bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh para Imam Ahli Hadits, di antaranya, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Hakim dan lain-lain. Hadits ini adalah hadits hasan[3] dan telah diterima sebagai hujjah oleh para ulama Ahlul Hadits.

Golongan-golongan umat Islam yang sebanyak 73 kelompok ini, hanya satu yang ada di surga. Tujuhpuluh dua golongan lainnya ada di dalam neraka. Maksudnya, mereka adalah golongan yang diancam sebagai penghuni neraka, bukan golongan kafir yang kekal di dalam neraka. Sebab tidak setiap yang dinyatakan ada di dalam neraka, mesti kafir dan kekal di dalamnya.

Ada bukti yang menunjukkan demikian, yaitu dalam hadits shahih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

صنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya. Yaitu; Suatu kaum yang membawa-bawa cemeti laksana ekor sapi yang digunakan untuk memukuli orang (maksudnya, para kaki tangan penguasa yang zhalim, pen.), dan kaum wanita yang berpakaian tetapi terlihat auratnya, congkak dan jalannya melenggang-lenggok, sedangkan kepalanya seperti punuk onta yang miring (karena rambutnya dimodel sedemikian rupa, pen.). Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian”.[HR. Muslim][4]

Kaum penguasa yang zhalim serta wanita penghuni neraka yang disebutkan dalam hadits di atas, tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang kafir yang kekal di dalam neraka. “Kecuali mereka menghalalkan tindakannya itu setelah memahami keharamannya.” Seperti dikatakan oleh Imam Nawawi[5]

Selanjutnya, hadits tentang perpecahan umat ini menjelaskan betapa dahsyat perpecahan di antara kaum Muslimin. Dan itu merupakan sunnatullah al kauniyah (ketetapan taqdir Allah). Ini jelas merupakan penyakit, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah.

Obatnya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian akhir hadits, ketika menjelaskan jalan apakah yang ditempuh oleh golongan yang selamat. Yaitu (menurut salah satu riwayat):

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

(Yaitu) apa yang hari ini, aku dan sahabatku berada di atasnya.[6]

Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “hari ini”? Sebab, pada hari ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup itulah agama (Islam) sempurna. Sehingga mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya seperti pada saat beliau masih hidup, merupakan satu-satunya obat untuk menyembuhkan penyakit perpecahan umat. Artinya, pemahaman umat Islam harus dikembalikan kepada pemahaman seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Sebab pemahaman terhadap Islam sebagaimana pemahaman yang ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan satu-satunya pemelihara bagi umat dari perpecahan.

Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menyebutkan sunnah beliau saja, tetapi bahkan menyebutkan sunnah sahabat. Menunjukkan, bahwa sunnah beliau terwujud dalam sunnah para sahabatnya. Siapa yang ingin sampai kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka harus menempuh sunnah para sahabat juga.

Tetapi untuk kembali kepada jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya memerlukan ilmu. Yaitu ilmu yang dapat mengantarkan menuju jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dengan kata lain, ilmu harus didahulukan daripada logika. Itulah sebabnya, obat bagi penyakit perpecahan ialah:

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

(Yaitu) apa yang hari ini, aku dan sahabatku berada di atasnya”.

(Yakni, obatnya ialah Islam sebagaimana yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadi perpecahan-pen). Obatnya bukan seperti yang ditempuh oleh golongan hizbiyah, oleh madzhab, oleh gerakan, pendapat, politik atau yang lain-lainnya.

Perselisihan dan perpecahan tetap terjadi dan semakin dahsyat. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberi anugerah untuk bisa tetap istiqamah berpijak pada jalan yang benar dan keluar dari fitnah ini, kecuali jika seseorang itu memahami bagaimana cara beristiqamah dan lepas dari fitnah tersebut.

Demikian isi ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman yang kami nukil secara sangat ringkas dengan bahasa bebas.

Intinya, perpecahan umat Islam merupakan sunnah kauniyah. Obatnya ialah dengan menjalankan sunnah syar’iyyah. Hanya kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan para sahabatnya saja yang dapat selamat dari fitnah ganas tersebut. Dan itu harus diperjuangkan, yaitu dengan rajin mempelajari ajaran Islam dari sumbernya secara benar, melalui tangan atau kitab para ulama Ahlu Sunnah, dan dengan senantiasa memperhatikan nasihat para ulama tersebut. Membuang gagasan atau pemahaman baru. Tidak merasa congkak hanya bersandar pada logika atau pemikiran pribadi, kelompok ataupun jama’ah tertentu. Apalagi mencerca dan memaki ulama serta merasa bangga dengan kegiatan golongannya dan murka jika mendapatkan kritik. Maka, mempelajari agama secara benar dengan sabar dan tekun merupakan jalan untuk sampai pada pemaham serta pengamalan yang benar, sehingga dapat terlepas dari penyakit perpecahan. Wallahu waliyyu at taufiq.

Maraji:

  1. CD Muhadharah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam Daurah Syar’iyyah II di Surabaya. (Dalam CD kami pada Muhadharah 2). Dan ini merupakan acuan utama.
  2. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari.
  3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha.
  4. Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah.
  5. Maa Ana ‘Alaihi Wa Ashabi, Ahmad Salam.
  6. Iiqaz Al Himam, Al Muntaqa Min Jami’ Al Ululm Wal Hikam – Ibnu Rajab (Syaikh Salim Al Hilali).
  7. Shahih Sunan Abi Dawud.
  8. Bashair Dzawi Asy Syaraf Bi Syarh Marwiyat Manhaj As Salaf, oleh Syaikh Salim Ied Al Hilali, Maktabah Al Furqan.
  9. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VII/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dalam Mawaqit Ash Shalah, no. 525; Fathul Bari II/8, Kitab Az Zakah no. 1435; Fathul Bari III/301, Kitab Ash Shiyam, no. 1895; Fathul Bari IV/110, Al Manaqib no. 3586; Fathul Bari VI/603-604, serta dalam Al Fitan no. 7096; Fathul Bari XIII/48. Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, Al Fitan, Bab Fi Al Fitnah Allati Tamuuju Ka Mauji Al Bahri, Syarh Nawawi; Khalil Ma’mun Syiha no 7197 dan lain-lain. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim
[2] Lihat misalnya pada kitab Iqazh Al Himam, Al Muntaqa Min Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, Syaikh Salim Al Hilali, hadits ke 28.
[3] Lihat beberapa keterangan tentang hadits itu. Di antaranya dalam, Basha’ir Dzawi Asy Syaraf Bi Syarhi Marwiyyat Manhaj As Salaf, Syaikh Salim Al Hilali, Maktabah Al Furqan, Cet. II th.1421 H/2000 M. hal. 75, 91, 92 dan 93
[4] Lihat Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Kitab Al Libas, Bab An Nisa’ Al Kasiyat Al ‘Ariyat Al Ma’ilat Al Mumilat, no. 5547 jilid XIV/335-336, dan Shifatul Jannah Wa Na’imiha, Bab An Nar Yadkhuluha Al Jabbarun Wal Jannah Yadkhuluha Adh Dhu’afa’, no.7123, XVII/187-188
[5] Lihat Syarh Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha XVII/189
[6] Disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan dalam muhadharah pada Daurah Syar’iyyah II di Surabaya. Dalam CD kami tertulis pada muhadharah 2


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14070-perpecahan-sebagai-sunnah-kauniyah-2.html